Sambangdesa.com / Sintang - Budaya terempoh, yakni tradisi saling mengunjungi rumah tetangga, masih dipertahankan oleh warga Menyumbung, Kabupaten Sintang. Tradisi ini biasanya berlangsung saat perayaan Idul Adha dan Idul Fitri, melibatkan seluruh warga kampung tanpa kecuali, dengan jumlah kunjungan mencapai puluhan kepala keluarga.
Juru Kunci Masjid Jami Sultan Nata, Abdul Latif, menjelaskan bahwa dengan semakin luasnya wilayah dan meningkatnya jumlah warga, tradisi terempoh kini dibagi ke dalam beberapa kelompok berdasarkan Rukun Tetangga (RT).
"Kami di sini, misalnya RT 1 dan RT 2, serta RT 3 dan RT 4 juga terlibat dalam tradisi ini, sampai ke ujung kampung," ungkapnya pada media.
Dalam pelaksanaan tradisi terempoh, warga yang rumahnya dikunjungi menyiapkan makanan saprah, yaitu hidangan yang disajikan untuk dinikmati bersama. Sebelum menyantap hidangan, para tamu membacakan doa, dan setelah beberapa saat, kepala rombongan akan membacakan sholawat sebagai tanda untuk berpindah ke rumah berikutnya.
"Semua rumah akan dikunjungi, jadi tidak ada yang istimewa. Semuanya disamakan. Apa pun yang disiapkan oleh tuan rumah, itulah yang kita makan. Ini adalah tradisi saling menghormati," tambah Abdul.
Sejarah menunjukkan bahwa pada masa kerajaan, setelah selesai takbir dari masjid, rumah pertama yang disinggahi adalah rumah kerajaan. Namun, setelah kerajaan menyatakan bergabung dengan NKRI, kebiasaan itu sempat terputus, terutama ketika raja tidak berada di tempat. Meski demikian, tradisi terempoh tetap dilanjutkan oleh masyarakat.
Tradisi ini biasanya dilaksanakan selama tiga hari, dengan rata-rata 20-30 rumah yang disinggahi setiap harinya. Jika di satu RT terdapat 40 kepala keluarga, maka sekitar 80 rumah akan menjadi tujuan kunjungan warga.
Abdul berharap tradisi ini bisa menjadi contoh bagi masyarakat di mana pun berada.
"Dengan adanya tradisi seperti ini, kita dapat saling mengenal antar tetangga dan menghindari suasana lebaran dari hal-hal yang kurang baik yang sering kita dengar di berita. Kadang, setelah takbiran, ada yang terlibat balap-balapan, yang akhirnya menyebabkan kecelakaan. Jika tradisi ini bisa menyebar secara nasional, itu justru baik, karena dapat menjaga silaturahmi antar warga," tutup Abdul.
Social Footer