Breaking News

Oposisi Bisa Mati Ditangan Demokrasi

 

Oleh: Dekki Umamur Ra'is *)

Sambangdesa.com - Setelah kemenangan “presisi” Prabowo-Gibran dalam Pemilu 2024 situasi tidak selalu menguntungkan secara bersamaan. Komposisi partai pendukung yang notabene partai besar menjadi sulit manuver sejumlah partai lain mengambil jarak sebagai oposisi nanti di Parlemen. Semua cara sudah dicoba tetapi peran Presiden Jokowi nampaknya bekerja efektif dalam agendanya menyokong putranya masuk Istana.

Partai Golkar dan Gerindra menempati posisi tiga partai teratas peraih kursi terbesar di Parlemen nanti. Posisi PDIP semakin sulit sekalipun menjadi pemenang suara partai. Nampaknya turunnya jumlah kursi mereka juga didapat dari efek Jokowi. Kedua partai yang disebutkan di awal tidak akan menyianyiakan kesempatan emas ini. Apalagi santer kabar Jokowi sedang menuju partai Golkar.

Pelembagaan politik oposisi hendaknya diawali upaya meluruskan pemahaman atasnya. Rocky Gerung (2001) menjelaskan bahwa politik oposisi merupakan nilai yang melekat pada demokrasi itu sendiri. Memilih demokrasi sebagai sistem politik berarti menerima pandangan filosofis bahwa manusia adalah makhluk yang terus-menerus berbuat salah. Untuk itu, segala keputusan yang dihasilkan harus terbuka untuk diperdebatkan secara rasional dan argumentatif. Pada titik itu, politik oposisi berperan untuk mencegah monopoli dan pemutlakan kebenaran oleh sekelompok orang, terutama pemerintah, karena berpotensi melemahkan dan mematikan demokrasi.

Dengan merujuk pada konsep tersebut, sangat jelas telah berkembang salah paham tentang politik oposisi selama ini. Politik oposisi dimaknai sebagai bentuk memermanenkan rivalitas di antara berbagai kekuatan politik. Hal itu terlihat dari manuver dan debat politik yang biasanya sangat emosional, beraroma kebencian, dendam, dan kekerasan. Berkembang kesan bahwa politik oposisi tidak lebih dari ledakan kekecewaan dan kemarahan para elite yang tidak siap dan ikhlas menerima kekalahan dalam setiap kontestasi politik.


Upaya
Bagi pemerintah yang berkuasa, politik oposisi dicurigai sebagai ancaman yang setiap saat berpotensi menggoyahkan bahkan menjatuhkan kekuasaannya. Atas dasar itu, pemerintah biasanya berusaha untuk merangkul sebanyak mungkin kekuatan politik untuk mendukungnya.

Pelaksanaan menggandeng sebanyak mungkun rekan koalisi bahkan dilakukan Presiden Jokowi. Pertemuannya dengan Surya Paloh bisa multi tafsir. Kita tidak bisa meng-“heurmeutisir” apa yang terjadis sebenarnya. Tetapi dalam ruang pasca pemilu simpulan sederhana bisa jadi adalah upaya memangkas adanya oposisi. Hanya PDIP yang melakukan gertaklewat usaha angket di DPR RI.

Argumen yang mendasari perlunya koalisi multipartai ialah terjaganya stabilitas politik dan pemerintahan sehingga kondusif bagi penyelenggaraan pembangunan. Akan tetapi, secara historis, argumen tersebut sulit dipertahankan. Lipson Leslie (1964) dalam bukunya The Democratic Civilization mengingatkan bahwa kekuasaan itu penting, tapi berbahaya. Kekuasaan koalisi multipartai, menurutnya, memiliki kompleksitas yang membingungkan. Sifat dasar koalisi ialah longgar dan sementara. Soliditasnya sulit dijamin, sebaliknya rentan konflik karena perbedaan kepentingan yang tidak selalu mudah dicarikan solusinya.

Selanjutnya Leslie menyebutkan tiga cacat bawaan koalisi multipartai, yakni lemah, lamban, dan boros. Lemah karena soliditas koalisi dengan mudah mencair jika terjadi perbedaan pandangan di antara anggota yang berujung pada penarikan dukungan terhadap pemerintah. Lamban sebab proses pengambilan keputusan cenderung bertele-tele dan harus harus melibatkan begitu banyak elite partai. Boros karena koalisi meniscayakan lahirnya kabinet gemuk sebab setiap anggota ingin mendapatkan posisi-posisi strategis dalam pemerintahan.

Ada dua hambatan serius bagi pelembagaan politik oposisi di negeri ini. Pertama, problem ideologis. Politik oposisi yang sukses mengandaikan adanya perbedaan ideologi yang jelas dan tajam di antara rezim dan oposisi. Soal itu menjadi hambatan serius di Indonesia karena hampir semua partai (kecuali partai Islam) menetapkan Pancasila sebagai asas dan ideologi partai. Visi misi dan program yang ditawarkan pun secara substantif sama, yakni mendorong penguatan ekonomi rakyat, membangun dari desa, memajukan pendidikan, dan sebagainya.

Kedua, oposisi harus secara total berada di luar rezim yang berkuasa. Kenyataannya, politik oposisi itu hanya berada di tingkat pusat. Jadi sifatnya parokial, tidak total. Dalam negara demokrasi, jika ada kekuasaan yang memerintah maka sah pula kehadiran kekuasaan yang beroposisi.


Seharusnya
Di Amerika Serikat, Australia, Inggris, bahkan Malaysia dan pada umumnya di negara-negara demokrasi, kehadiran kekuatan oposisi telah menjadi pranata demokrasi yang sangat penting. Sebaik apa pun sistem demokrasi dibangun, selalu memiliki potensi melakukan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) dan bisa bertindaksewenang-wenang (willekeurig).

Oposisi dalam parlemen selain merupakan sebuah keniscayaan dalam sistem parlemen demokratis, jika berkaca pada pengalaman negara-negara demokrasi modern, hadirnya kekuatan oposisi dalam parlemen berdampak terhadap paling sedikit tiga hal. Pertama, meningkatkan kualitas kebijakan dan fungsi parlemen yang dihasilkan melalui perdebatan-perdebatan dalam pelaksanaan fungsi legislasi, pengawasan dan penganggaran.

Kedua, melalui checks and balances di dalam tubuh parlemen, kekuasaan parlemen dicegah menjadi absolut dan hanya “membebek” terhadap pendapat eksekutif. Konstitusi tak pernah mengharamkan kekuatan oposisi karena sistem oposisi merupakan salah satu ciri dari negara demokrasi konstitusional. Dan ketiga, kekuatan oposisi dalam tubuh parlemen, jika benar-benar mampu menjadi kekuatan penyeimbang, justru akan meningkatkan kualitas pengawasan parlemen terhadap eksekutif.

Kekuasaan eksekutif yang cenderung berpotensi menjadi birokratis, tanpa pengawalan sebuah kekuatan oposisi akan cenderung menjadi stagnan. Kekuatan oposisi dalam pola parlemen di AS di antara Partai Republik dan Partai Demokrat, justru dapat mendorong eksekutif di AS menghasilkan kebijakan-kebijakan di dalam maupun luar negeri yang akuntabel dan controllable.

Dalam pandangan Zizek, keretakan struktur dalam realitas sosiopolitik adalah sesuatu yang tak terhindarkan, bahkan dalam suatu masyarakat yang diatur oleh rezim totaliter sekalipun. Dalam posisi ini subjek-subjek secara politik selalu harus diposisikan sebagai pergerakan antara yang simbolik terhadap yang riil.

Oleh karena itu, kehadiran oposisi dalam sistem demokrasi adalah upaya subjek untuk mengaktualisasikan makna demokrasi hakiki yang salah satunya ditandai oleh sebuah relasi yang bergerak antara konsensus dan disensus, checks and balances, dan harmoni-disharmoni, Terlepas dari hal itu sebuah kuasa akan menjadi totaliter dan absolut. Tak satu undang-undang pun mengharamkan oposisi, karena disadari bahwa salah satu komponen negara demokrasi yang membedakannya dengan negara non-demokrasi adalah eksisnya unsur oposisi.

Karena, oposisi dapat menjadi kekuatan pengontrol dan penyeimbang jalan pelaksanaan pemerintahan dalam suatu negara, sehingga pemerintahan dan negara dapat dicegah untuk tidak terjerumus ke dalam keadaan abuse of power. Oleh sebab itu, oposisi adalah salah satu elemen penting untuk membangun negara demokrasi yang kuat. Dari sudut pandang penting mekanisme checks and balances, oposisi semestinya tidak perlu dicemaskan dan kemudian menjadi takut untuk menerima kehadirannya.

Justru, adanya kekuatan oposisi dapat menjaga pelaksanaan negara demokrasi berjalan dengan baik dan demokratis. Beroposisi politik berarti melakukan kegiatan pengawasan atas kekuasaan politik yang bisa keliru dan bisa benar. Ketika kekuasaan menjalani kekeliruan, oposisi berfungsi mengabarkan kepada publik kekeliruan itu sambil membangun penentangan dan perlawanan atasnya.

Sebaliknya, ketika kekuasaan menjalankan fungsinya secara benar, maka oposisi menggarisbawahinya sambil membangun kesadaran dan aksi publik untuk meminta kelanjutan dan konsistensi dari praktik kebenaran itu. Maka, sama mulianya dengan kuasa yang memerintah, kuasa oposisi juga mengabdi pada mandat rakyat untuk mencegah kekuasaan berkembang menjadi tirani dan mencederai rakyat, sang pemilik sejati kekuasaan dalam negara demokrasi.


*) Penulis Adalah Pegiat Desa dan Pemerhati Sosial

Advertisement

Type and hit Enter to search

Close