Sambangdesa.com - Banyak pakar telah membahas mengenai bonus demografi Indonesia yang diantisipasi akan terjadi pada tahun 2030-2040. Pada periode tersebut, diproyeksikan bahwa jumlah penduduk usia produktif (15-64 tahun) di negara ini akan mencapai lebih dari 60% dari total penduduk, dibandingkan dengan usia non-produktif. Hal ini bisa menjadi anugerah atau potensi masalah dari sudut pandang Sumber Daya Manusia (SDM), tergantung pada bagaimana rencana perbaikan kualitas SDM dirancang. Terutama, untuk mencapai visi Indonesia Emas 2045, kualitas SDM menjadi hal yang sangat berharga dan suatu keharusan.
Potensi bonus demografi bukan hanya sebatas tantangan untuk menciptakan lapangan kerja. Saat ini, pemerintah juga berupaya mengurangi tingkat pengangguran setiap tahun. Namun, ada faktor eksternal seperti krisis ekonomi, resesi, dan pandemi yang sulit diprediksi dan dikendalikan, yang dapat mengganggu program-program yang telah direncanakan. Sebelum lapangan kerja dapat diciptakan, perlu SDM yang kompeten dan berkualitas, agar bisa bersaing tidak hanya di tingkat lokal, tetapi juga di panggung global.
Kualitas SDM menjadi faktor yang sangat penting dalam persaingan global dan ketersediaan lapangan kerja. Kita tidak ingin melihat bahwa ketika lapangan pekerjaan tersedia, tenaga kerja dari luar negeri lebih kompeten, karena kualitas SDM lokal tidak dapat bersaing. Oleh karena itu, peningkatan kualitas SDM harus dimulai sekarang untuk menghadapi tantangan dan peluang yang akan muncul dalam beberapa tahun ke depan.
Tantangan selanjutnya adalah tingginya tingkat stunting. Menurut data dari Kementerian Kesehatan, prevalensi stunting di Indonesia adalah 21,6% pada tahun 2022. Meskipun persentase ini mengalami penurunan yang signifikan, pemerintah masih berusaha mencapai target prevalensi stunting sebesar 14% pada tahun 2024, yang tentu saja merupakan tantangan besar. Di banyak wilayah Indonesia, tingkat prevalensi stunting masih berada di atas rata-rata nasional. Ini termasuk wilayah seperti Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Barat, Aceh, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Tenggara (dalam persentase), dan Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Sumatera Utara, dan Banten (dalam jumlah).
Stunting tetap menjadi masalah utama dalam perkembangan generasi penerus bangsa. Faktor kemiskinan seringkali dianggap sebagai penyebab utama stunting. Banyak program telah dirancang untuk meningkatkan gizi anak-anak Indonesia dengan harapan bahwa stunting dapat dikurangi atau bahkan dihilangkan sama sekali. Salah satu cara yang digunakan oleh pemerintah adalah pengalokasian sebagian dana desa. Dengan memanfaatkan dana desa secara optimal, diharapkan masalah stunting di desa-desa terpencil dan terluar di Indonesia dapat diatasi lebih efektif.
Anggaran untuk mengatasi dan mencegah stunting telah dialokasikan setiap tahun. Pada tahun 2022, alokasi APBN untuk pencegahan stunting mencapai Rp 34,1 triliun, sedangkan pada APBN 2023, alokasinya meningkat menjadi Rp 44,8 triliun. Dari jumlah tersebut, Rp 34,1 triliun akan didistribusikan ke 17 Kementerian/Lembaga, sementara sisanya, sekitar Rp 8,9 triliun, akan dialokasikan kepada pemerintah daerah melalui Dana Alokasi Khusus (DAK) Fisik dan Rp 1,8 triliun untuk Dana Alokasi Khusus (DAK) Non-Fisik. Pemerintah fokus pada program Pencegahan Stunting, termasuk bantuan operasional kesehatan, bantuan operasional Keluarga Berencana, serta ketahanan pangan dan pertanian.
Masalah stunting tidak hanya disebabkan oleh gizi buruk. Faktor-faktor lain seperti lingkungan yang bersih dan sehat, penghasilan keluarga yang memadai, kesiapan calon orangtua, dan akses ke air bersih juga berperan penting dalam perkembangan anak-anak. Oleh karena itu, pemerintah tidak hanya memperhatikan aspek kesehatan semata, tetapi juga mencakup program-program pendukung yang memengaruhi faktor-faktor tersebut.
Pengalokasian dana desa untuk pencegahan stunting sudah dimulai sejak 2018. Setiap tahun, dalam peraturan dari Kementerian Keuangan dan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi mengenai pedoman penggunaan Dana Transfer ke Daerah dan Dana Desa, dijelaskan bahwa salah satu prioritas penggunaan dana desa adalah program konvergensi pencegahan stunting di desa. Dalam pelaksanaannya, program ini fokus pada kegiatan seperti pengadaan ambulans, pembangunan atau rehabilitasi poskesdes, polindes, dan posyandu, penyediaan makanan sehat untuk peningkatan gizi balita, perawatan kesehatan untuk ibu hamil dan menyusui, pengadaan kebutuhan medis, serta pembangunan fasilitas sanitasi dan air bersih.
Peran serta aparatur desa dan masyarakat adalah faktor utama dalam keberhasilan Program Pencegahan Stunting. Selain dalam penggunaan anggaran, pelaporan dan pertanggungjawaban harus melibatkan semua pihak. Musyawarah untuk menentukan prioritas kegiatan dalam Program Pencegahan Stunting di setiap desa sangat penting karena setiap desa memiliki kondisi yang berbeda. Fasilitas kesehatan, sanitasi, air bersih, dan fasilitas medis di setiap desa juga beragam.
Dalam konteks tiga aspek utama: bonus demografi, kualitas SDM, dan prevalensi stunting, kerjasama, sinergi, dan koordinasi yang komprehensif dari semua pihak menjadi suatu kebutuhan esensial. Pemerintah, sebagai regulator, harus menggandeng pemangku kepentingan lainnya, termasuk para pengusaha, dalam rangka mencapai tujuan bersama. Sebagai contoh, Memorandum of Understanding (MoU) antara BKKBN dan HIPMI yang diinisiasi pada akhir Agustus 2023 (bkkbn.go.id) dapat menjadi bentuk sinergi yang efektif dalam upaya mempercepat penurunan angka prevalensi stunting di Indonesia. Dalam kerangka MoU tersebut, HIPMI dan BKKBN berkomitmen untuk bersama-sama meningkatkan kualitas SDM melalui program akselerasi penurunan stunting. Diharapkan para pengusaha akan dapat menyesuaikan strategi bisnis mereka, terutama di wilayah-wilayah yang memiliki potensi bonus demografi yang signifikan.
Selanjutnya, aspek penting dalam konteks ini adalah akurasi dan validitas data, baik data populasi maupun data terkait fasilitas dan layanan kesehatan. Program pencegahan stunting, yang melibatkan berbagai elemen dan alokasi anggaran seperti yang telah diuraikan di atas, harus didasarkan pada data yang akurat dan dapat dipercaya. Akurasi dan validitas data menjadi faktor krusial dalam memastikan bahwa program yang dirancang memberikan hasil yang nyata dan tepat sasaran.
*) Penulis : Muhammad Nur
**) Artikel ini telah dimuat di Detik.com pada tanggal Senin, 09 Okt 2023 13:42 WIB
Social Footer