Sambangdesa.com / Jakarta - Bank Pembangunan Asia (ADB) memperkirakan bahwa 30,3 persen penduduk di kawasan Asia-Pasifik, atau sekitar 1,26 miliar orang di kawasan ini, berisiko jatuh ke dalam kemiskinan pada tahun 2030.
Dalam laporan terbarunya yang dipublikasikan pada Kamis (24/8), ADB menyebut penyebab situasi ini adalah kenaikan biaya hidup. Menurut mereka, kenaikan biaya hidup menghambat pengentasan kemiskinan di kawasan Asia.
“Perekonomian negara-negara berkembang di Asia dan Pasifik harus terus mencapai kemajuan dalam memerangi kemiskinan. Namun, pada tahun 2030, sekitar 30,3 persen populasi di kawasan ini – atau sekitar 1,26 miliar orang – akan dianggap rentan secara ekonomi,” katanya, menurut laporan ADB.
ADB mendefinisikan kemiskinan sebagai pendapatan per kapita rata-rata antara $3,65 dan $6,85 per hari. Dalam laporannya, ADB menyebutkan peningkatan permasalahan hidup disebabkan oleh kenaikan inflasi tahun lalu dan dampak pandemi Covid-19 yang terus berdampak pada perekonomian dan kelimpahan.
Krisis biaya hidup yang tinggi, menurut AfDB, terus mendorong masyarakat di Asia dan Pasifik ke dalam kemiskinan ekstrem. ADB juga mengatakan bahwa 155,2 juta orang di negara-negara berkembang di Asia dan Pasifik, atau 3,9 persen populasi di kawasan tersebut, saat ini hidup dalam kemiskinan ekstrem.
ADB mendefinisikan orang-orang yang berada dalam kemiskinan ekstrem adalah mereka yang memiliki pendapatan kurang dari $2,15 per hari.
“Asia dan Pasifik terus pulih dari pandemi COVID-19, namun peningkatan standar hidup menghambat kemajuan dalam pengentasan kemiskinan,” kata kepala ekonom ADB, Albert Park, dalam pernyataan, Kamis (24/8/2023).
ADB juga mengharapkan negara-negara di kawasan ini untuk memperkuat langkah-langkah jaminan sosial bagi masyarakat miskin untuk membantu mereka mengatasi kenaikan biaya perumahan. Bank juga mendorong masyarakat untuk mendorong investasi dalam inovasi yang menciptakan peluang pertumbuhan dan lapangan kerja.
“Pemerintah di wilayah ini perlu mengambil langkah mundur.”. ucap Albert.
Bank Pembangunan Asia (ADB) mengatakan dalam laporan terbarunya bahwa hampir 70 juta orang di Asia jatuh ke dalam kemiskinan ekstrem selama pandemi Covid-19. Jumlah uang yang muncul berdampingan juga menjadi salah satu faktornya.
Laporan ADB yang dirilis pada Kamis (24/8/2023), menemukan bahwa sekitar 155,2 juta orang di negara berkembang Asia, atau 3,9% dari populasi kawasan, akan hidup dalam kemiskinan ekstrem pada tahun 2022.
Jumlah ini lebih banyak 67,8 juta dibandingkan jika tidak ada kendala kesehatan dan biaya hidup. Asia Berkembang mencakup 46 negara di kawasan Asia-Pasifik dan tidak termasuk Jepang, Australia, dan Selandia Baru.
Pada bulan Juli, ADB menyebutkan negara-negara berkembang di Asia berada pada posisi pertumbuhan sebesar 4,8% dibandingkan tahun sebelumnya.
Sayangnya, ADB mengatakan bahwa 30,3% populasi di kawasan ini, atau sekitar 1,26 miliar orang, akan dianggap rentan secara ekonomi pada tahun 2030.
Menurut pedoman tahun 2017, kemiskinan ekstrem didefinisikan sebagai orang yang hidup dengan pendapatan kurang dari US$2,15 per hari.
“Asia dan Pasifik terus pulih dari pandemi Covid-19, namun meningkatnya biaya hidup menghambat kemajuan dalam pengentasan kemiskinan,” tulis ABD, dikutip Reuters.
Di banyak negara berkembang di Asia, inflasi mencapai titik tertinggi sejak tahun lalu. Hal ini disebabkan oleh dimulainya kembali aktivitas ekonomi dan peningkatan rantai pasokan.
Jelas bahwa inflasi berdampak pada semua orang, namun kelompok miskin adalah kelompok yang paling terkena dampaknya. Masyarakat pada kelompok ini semakin sulit melindungi dan memenuhi kebutuhan dasarnya, termasuk layanan kesehatan dan pendidikan.
Kepala Ekonom AfDB Albert Park merekomendasikan agar pemerintah di kawasan ini segera memperkuat jaring pengaman sosial bagi masyarakat miskin dan mendorong investasi untuk melindungi kekayaan mereka.
“Dengan memperluas jaring pengaman sosial bagi masyarakat miskin dan mendorong investasi dalam inovasi yang menciptakan peluang pertumbuhan dan lapangan kerja, pemerintah di kawasan ini dapat bangkit kembali,” kata Park.
Meskipun pemulihan ekonomi di kawasan Asia-Pasifik berjalan dengan baik, “masalah kembar mengancam upaya untuk mengurangi kemiskinan,” kata Albert Park.
“Dengan memperkuat jaring pengaman sosial bagi masyarakat miskin dan mulai berinvestasi pada inovasi yang menciptakan peluang pertumbuhan dan lapangan kerja, negara-negara di kawasan ini dapat membangun kembali perekonomiannya.” lanjut Albert.
Masyarakat miskin adalah kelompok yang paling terkena dampak kenaikan harga pangan, bahan bakar, dan kebutuhan lainnya. Tingginya biaya hidup diduga mengurangi dana untuk kesehatan, pendidikan atau asuransi jangka panjang lainnya.
Perempuan juga termasuk yang paling populer karena mereka berpenghasilan lebih rendah dibandingkan laki-laki dan dapat bekerja tanpa bayaran. Menurut ADB, masyarakat miskin pada umumnya harus membayar lebih untuk membeli kebutuhan pokok atau mendapatkan pekerjaan.
Keluarga berpendapatan rendah seringkali membeli produk dalam kemasan kecil, yang harganya lebih mahal dibandingkan membeli dalam kemasan besar. Mereka juga tinggal di perumahan di bawah standar dengan risiko kesehatan yang tinggi, sehingga berdampak pada biaya layanan kesehatan. »
Pada tahun 2030, diperkirakan 1,26 miliar orang di Asia akan mengalami kerugian ekonomi. Kelemahannya dijelaskan oleh besaran antara 3,65 dan 6,85 USD, atau sekitar Rp 100.000 per hari, atau sekitar Rp 3,1 juta per bulan.
Laporan tersebut menyerukan kepada pihak berwenang di Asia untuk mencegah penyebaran krisis ini dengan memperkuat jaring pengaman sosial. Dukungan juga diperlukan untuk sektor pertanian, khususnya melalui fasilitasi akses terhadap kredit keuangan, pembangunan infrastruktur dan inovasi teknologi.
Social Footer