Sambangdesa.com / Kutai Timur - Desa Tepian Terap di Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur, berhasil memenuhi kebutuhan energi listrik secara mandiri. Sejak tahun 2015, desa ini telah memiliki Pembangkit Listrik Mikro Hidro (PLMH) yang memungkinkannya untuk menjadi mandiri dalam pemenuhan kebutuhan listrik.
Kepala Desa Tepian Terap, Eko Sutrisno, menjelaskan bahwa desa ini terletak cukup jauh dari pusat pemerintahan, sehingga akses terhadap energi listrik dari PLN sulit untuk mencapai desa tersebut. Oleh karena itu, desa ini merasa perlu mengambil langkah mandiri untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti listrik.
Di wilayah pedalaman Kalimantan Timur, masih banyak desa yang belum memiliki akses terhadap listrik. Meskipun PLN sudah menyediakan jaringan, banyak wilayah yang masih bergantung pada sumber listrik alternatif seperti mesin generator berbahan bakar solar. Mesin genset tersebut meskipun bisa memenuhi kebutuhan listrik, sayangnya tidak ramah lingkungan dan mahal dalam pengoperasian.
Desa Tepian Terap memanfaatkan sumber daya alam yang dimilikinya, yaitu mata air yang tak pernah berhenti mengalir, bahkan saat musim kemarau. Potensi ini dimanfaatkan untuk membangun Pembangkit Listrik Mikro Hidro (PLMH) yang menjadi sumber listrik mandiri bagi desa tersebut. Dengan demikian, desa ini berhasil menjadi contoh bahwa dengan kreativitas dan sumber daya yang ada, kebutuhan energi listrik di pedalaman juga bisa terpenuhi secara mandiri.
Pada tahun 2010, melalui program PNPM Mandiri, pemerintah desa bersama warga setuju untuk membangun kincir air sebagai sumber energi listrik. Proyek ini didanai oleh dana PNPM dan juga melibatkan sumbangan swadaya masyarakat serta bantuan dari pihak lain.
Proses inisiasi dimulai sejak tahun 2006 dan menjadi lebih matang pada tahun 2008 hingga akhirnya terealisasi pada tahun 2010. Kincir air tersebut dilengkapi dengan dinamo dan aliran listrik menuju rumah-rumah warga. Aliran air yang digunakan berasal dari mata air bernama Mata Air Jiwata.
Saluran air dari mata air direkayasa sedemikian rupa untuk memadatkan aliran air, sehingga dapat menggerakkan kincir air. Semua persiapan dilakukan dengan baik.
Pada saat yang ditunggu-tunggu, mereka memulai untuk mengoperasikan kincir air, dan hasilnya sangat memuaskan. Dinamo bergerak dan menghasilkan energi listrik. Namun, tanpa diduga, kincir air tersebut tidak mampu menahan debit air yang terlalu deras.
Akibatnya, kincir air mengalami kerusakan. Meskipun dinamo sempat berputar sebentar dan aliran listrik berhasil mengalir ke rumah-rumah warga, namun hanya berlangsung selama dua jam.
Eko Sutrisno, Kepala Desa Tepian Terap, menyatakan bahwa saat itu mereka sempat merasa bahagia atas keberhasilan awal tersebut, meskipun hanya sesaat. Setelah itu, kincir air mengalami masalah dan impian mereka untuk memiliki aliran listrik terasa sirna.
Meskipun mengalami kegagalan, mereka tidak menyerah dan tetap berjuang. Pada saat itu, mereka kembali menggunakan mesin generator berbahan bakar solar sebagai sumber listrik. Meskipun biayanya mahal dan aliran listrik hanya berlangsung selama enam jam, warga desa tetap berusaha untuk memiliki penerangan di malam hari.
Meskipun mengalami kegagalan dengan kincir air, pemerintah desa dan warga tidak menyerah. Sebaliknya, kegagalan tersebut memotivasi mereka untuk mencari cara lain agar desa memiliki aliran listrik 24 jam. Dengan memaksimalkan akses media sosial dan melakukan riset sendiri, mereka berhasil menemukan informasi tentang pembangkit listrik mikro hidro (PLMH) yang menggunakan aliran air.
Eko Sutrisno, yang saat itu masih menjabat sebagai Bendahara Desa Tepian Terap, aktif mencari informasi tentang pembuatan turbin untuk PLMH. Mereka berusaha menghubungi teknisi dari Blitar yang kemudian mendukung rencana pembangunan PLMH berdasarkan konsistensi debit aliran air dari Mata Air Jiwata.
Rancangan Anggaran Biaya (RAB) pun dibuat, dan pendanaan diperoleh dari Dana Desa, Corporate Social Responsibility (CSR) perusahaan kelapa sawit di sekitar desa, dan juga swadaya masyarakat.
Pada tahun 2015, mimpi Desa Tepian Terap memiliki aliran listrik akhirnya menjadi kenyataan. PLMH berhasil dioperasikan dan dikelola oleh BUMDes Jiwata Energi yang dimiliki oleh Pemerintah Desa Tepian Terap.
Anwar, Direktur BUMDes Jiwata Energi, menjelaskan bahwa listrik yang dihasilkan oleh PLMH sangat memadai. Dengan satu trafo saja, mereka mampu menyediakan listrik untuk 300 rumah. Voltase yang dihasilkan mencapai 380-400 Volt untuk tiga fase, dan 220-230 Volt untuk satu fase ke konsumen. PLMH ini bahkan dapat menghasilkan daya maksimum sebesar 100 KVA.
Dalam distribusi listrik, mereka menggunakan jaringan tegangan menengah (Jaringan TM) untuk menghindari hilangnya arus atau daya saat dialirkan, karena jarak antara sumber daya dan konsumen mencapai sekitar 3 kilometer. Aliran listrik dari PLMH ke rumah-rumah dihubungkan melalui tiang kayu ulin, sementara BUMDes menyediakan meteran listrik secara gratis dan tidak memungut biaya untuk sambungan baru.
Proses penentuan tarif listrik di Desa Tepian Terap tidak berjalan mulus, seperti yang sering terjadi dalam banyak komunitas. Eko Sutrisno berusaha menenangkan warga yang berharap tarif listrik murah atau bahkan gratis. Namun, pemerintah desa juga perlu memastikan ada pembiayaan yang cukup untuk perawatan agar PLMH tetap beroperasi.
Setelah diskusi panjang, mereka akhirnya menyepakati tarif listrik sebesar Rp70 ribu per ampere per rumah. Untuk warga yang kurang mampu, pemerintah desa memberikan subsidi. Warga menganggap bahwa sumber air dari Mata Air Jiwata gratis, namun Eko Sutrisno menjelaskan bahwa operator yang mengelola PLMH juga memerlukan biaya operasional dan perawatan.
Saat ini, harga per ampere telah meningkat menjadi Rp100 ribu. Untuk rumah tangga sederhana, 1 ampere sudah cukup. Namun, rumah tangga yang lebih besar dapat menggunakan 2 ampere dengan tarif dua kali lipat.
Tarijo, seorang warga Desa Tepian Terap, merasa bersyukur dengan hadirnya PLMH. Sebelumnya, mereka harus mengandalkan mesin genset pribadi dengan biaya minimal Rp1 juta per bulan. Dengan PLMH, biaya listrik menjadi lebih terjangkau, hanya Rp200 ribu per bulan, dan mereka bisa menggunakannya untuk semua perangkat elektronik di rumah, termasuk mesin cuci.
Kehadiran listrik 24 jam memiliki dampak positif bagi masyarakat, seperti peningkatan ekonomi dan kesejahteraan, serta membantu para pelajar belajar tanpa terganggu oleh kegelapan malam.
Pemerintah Kabupaten Kutai Timur memberikan penghargaan kepada Desa Tepian Terap atas upaya mereka dalam memanfaatkan potensi desa sebagai pembangkit listrik. Bupati Kutai Timur, Ardiansyah Sulaiman, mengakui bahwa wilayah kabupaten tersebut sangat luas, dengan jarak antar desa yang jauh. Karena itu, memenuhi kebutuhan dasar masyarakat seperti listrik dan air bersih menjadi sulit dan memerlukan dana yang besar.
Beberapa desa dan pemukiman di daerah ini telah didorong untuk mengembangkan pembangkit listrik sendiri. Selain itu, perusahaan-perusahaan yang beroperasi di Kutai Timur juga didorong untuk menyediakan energi listrik kepada warga di sekitar perusahaan.
Bupati Ardiansyah mengapresiasi langkah yang diambil oleh Desa Tepian Terap sebagai tindak lanjut dari instruksi Presiden terkait energi terbarukan. Selain Pembangkit Listrik Mikro Hidro (PLMH) di Desa Tepian Terap, kabupaten ini juga memiliki pembangkit listrik bioenergi dari cangkang kelapa sawit. Perusahaan kelapa sawit didorong untuk memenuhi kebutuhan listrik perusahaan serta memasok listrik ke masyarakat sekitar.
Beberapa desa di Kecamatan Karangan, beberapa wilayah di Kecamatan Muara Bengkal, dan saat ini sedang dalam proses untuk enam desa di Kecamatan Sandaran telah menerima pasokan listrik dari pembangkit listrik bioenergi. Bupati Ardiansyah menilai langkah ini sebagai langkah luar biasa karena memberikan manfaat yang besar kepada masyarakat.
Mata Air Jiwata, yang menjadi sumber energi listrik di Desa Tepian Terap, menghadapi ancaman karena hutan yang melindungi mata air tersebut masuk dalam Hak Guna Usaha (HGU) dari sebuah perkebunan kelapa sawit. Jika perusahaan tersebut mengembangkan areal perkebunannya, hutan yang melindungi mata air bisa terancam terbabat habis. Pemerintah Desa Tepian Terap telah menjalin komunikasi dengan pihak perusahaan untuk memastikan bahwa kawasan hutan seluas 211 hektar ini tidak hilang.
Meskipun komunikasi dengan perusahaan sudah dimulai, Kepala Desa Tepian Terap, Eko Sutrisno, menyadari bahwa komitmen tersebut masih dalam tahap awal. Desa Tepian Terap berupaya keras agar hutan tersebut tetap lestari untuk menjaga debit mata air. Eko berharap ada bantuan dari pihak lain, terutama Kementerian Kehutanan, untuk mengubah status kawasan tersebut. Mereka memiliki cita-cita untuk mengembangkan hutan tersebut menjadi hutan desa atau bahkan hutan konservasi yang juga dapat menjadi tempat edukasi dan tujuan wisata.
Hutan yang melindungi Mata Air Jiwata bukan hanya sebagai sumber energi listrik, tetapi juga sebagai sumber air bersih bagi warga desa. Jika hutan tersebut hilang, maka sumber mata airnya pun terancam. Desa Tepian Terap adalah gambaran masyarakat desa yang berjuang mengatasi keterbatasan dan terus mengembangkan potensi yang dimilikinya. Namun, mereka juga membutuhkan bantuan untuk menjaga keberlangsungan sumber kebutuhan dasar mereka dari ancaman perubahan lingkungan.
Suriadi Darmoko, seorang Finance Campaigner dari 350 Indonesia, menjelaskan bahwa pada tingkat komunitas seperti desa, isu energi tidak lagi dapat dianggap sebagai bagian dari transisi energi. Masyarakat di tingkat akar rumput sudah mampu memanfaatkan sumber energi di wilayah tempat tinggal mereka.
Energi yang dihasilkan oleh komunitas pada dasarnya adalah energi terbarukan, yang dibangun berdasarkan potensi yang ada di dalam komunitas tersebut. Menurut Suriadi, pemerintah seharusnya melihat ini sebagai peluang untuk diterapkan di banyak desa di Indonesia, dengan tujuan untuk memenuhi rasio elektrifikasi.
Meskipun rasio elektrifikasi pada tingkat desa sudah cukup baik, masih banyak desa yang belum memiliki pasokan listrik. Oleh karena itu, pendekatan seperti yang dilakukan oleh Desa Tepian Terap bisa menjadi cara untuk memenuhi kebutuhan energi di desa-desa tersebut.
Suriadi menekankan bahwa setiap desa memiliki potensi untuk mandiri dalam pemenuhan energi, seperti yang terjadi di Desa Tepian Terap. Jika sebuah desa dapat menjadi mandiri dalam energi, maka ia juga berpotensi untuk menjadi mandiri dalam hal ekonomi.
Desa Tepian Terap merupakan contoh nyata tentang kemandirian dan kedaulatan energi di tingkat desa. 350 Indonesia, sebuah LSM lingkungan internasional yang fokus pada krisis iklim, melihat desa ini sebagai inspirasi. Upaya kemandirian dalam energi ini sekaligus menjadi bentuk protes terhadap korporasi besar yang selama ini menguasai sektor energi.
Suriadi menyatakan bahwa Desa Tepian Terap seharusnya tidak hanya dianggap sebagai alternatif pembangkit listrik, melainkan sebagai solusi yang lebih tepat. LSM tersebut meyakini bahwa kesuksesan Desa Tepian Terap bisa menjadi contoh dan inspirasi bagi desa-desa lain di Indonesia, serta diharapkan pemerintah juga melihatnya sebagai model yang dapat diadopsi.
Social Footer