Anak-anak dari Desa Bilebante ikut Menanam Pohon untuk Mendukung Program Desa Wisata Berkelanjutan / Foto: Kompas.id |
Pada tahun 2016, Bilebante secara resmi menjadi desa wisata. Selama perjalanan tersebut, Bilebante telah meraih berbagai penghargaan, salah satunya adalah penghargaan Desa Terbaik dalam ajang Desa Wisata Award 2017 yang diberikan oleh Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi.
Oleh karena itu, tidak hanya pengelola DWH Bilebante, tetapi juga Pemerintah Kabupaten Lombok Tengah berharap agar Bilebante meraih hasil yang positif dalam seleksi UNWTO. Lendek Jayadi, Pelaksana Tugas Kepala Dinas Pariwisata Lombok Tengah, sangat mendukung peran Bilebante di tingkat internasional.
"Bilebante adalah salah satu desa yang kami dorong untuk menjadi desa wisata berkelanjutan. Desa ini telah meraih berbagai penghargaan. Prestasinya sekarang menjadi sarana promosi, bukan hanya untuk Bilebante tetapi juga desa wisata lainnya di Lombok Tengah," kata Lendek.
Dia berharap bahwa prestasi Bilebante dapat memotivasi desa wisata lain di Lombok Tengah untuk terus berinovasi. Terlebih lagi, Lombok Tengah memiliki destinasi superprioritas yaitu Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika dengan sirkuit kelas dunia.
"Oleh karena itu, kami menerapkan pendekatan pengembangan yang telah dilakukan di Bilebante ke desa wisata lainnya. Salah satunya adalah dengan melibatkan semua kementerian atau lembaga terkait dalam meningkatkan kapasitas desa wisata," kata Lendek.
Saat ini, Lombok Tengah memiliki 61 desa wisata. Dari jumlah tersebut, 28 desa telah memiliki status sebagai desa mandiri, maju, dan berkembang. Sisanya masih berpotensi untuk menjadi desa wisata percontohan.
Bilebante pernah dikenal dengan sebutan "Desa Debu" karena maraknya kegiatan penambangan pasir. Namun, kesadaran akan potensi pariwisata muncul di kalangan warga. Secara perlahan, Bilebante bertransformasi menjadi salah satu desa wisata terbaik di Indonesia. Prestasi ini tidak terlepas dari dedikasi Pahrul Azim (35 tahun), seorang tokoh di desa tersebut.
Kegiatan penambangan pasir telah berlangsung di Bilebante sejak tahun 1990-an. Luas lahan yang digunakan untuk penambangan pasir mencapai puluhan hektar, termasuk lahan sawah dan perkebunan. Banyak penduduk desa yang menjadi penambang pasir atau pengusaha pasir.
"Banyak kendaraan pengangkut pasir yang keluar masuk desa setiap hari. Hal ini menyebabkan kerusakan jalan yang parah, banyak lubang, dan banyak debu. Karena itu, Bilebante dikenal sebagai 'Desa Debu'," cerita Pahrul, yang dikutip dari kompas.id pada hari Senin (7/6/2021).
Untuk mengatasi penambangan pasir yang semakin merusak sawah dan perkebunan, Pemerintah Desa Bilebante di bawah kepemimpinan Rakyatul Liwaudin mengeluarkan peraturan desa pada tahun 2007 untuk mengatur kegiatan penambangan pasir. Sejak saat itu, kegiatan penambangan pasir mulai berkurang.
"Penambangan pasir benar-benar berhenti pada tahun 2016 ketika Desa Wisata Hijau Bilebante secara resmi diluncurkan," kata Pahrul.
Bilebante saat ini menjadi salah satu desa wisata yang mendukung Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika. KEK Mandalika merupakan salah satu destinasi superprioritas yang sedang dikembangkan oleh pemerintah. Acara besar seperti MotoGP di Sirkuit Mandalika menjadi daya tarik kawasan di Kuta, Pujut, Lombok Tengah.
Sebagai desa penyangga, Bilebante telah menggali berbagai potensi alam, budaya, kuliner, dan kearifan lokal warganya. Inilah yang menarik wisatawan datang ke Bilebante, termasuk wisatawan dari Inggris, Portugal, Spanyol, Jerman, Meksiko, Perancis, dan Kiribati. Mereka senang mengikuti kegiatan seperti bersepeda keliling desa dan persawahan, kelas memasak, kelas terapi kebugaran, dan berkebun tanaman herbal.
Social Footer