Sambangdesa.com / Jakarta - Dalam pernyataan persnya yang dikeluarkan pada Sabtu, 8 Juli 2023, Forum Indonesia untuk Transparansi (FITRA) mengemukakan pandangannya terkait revisi UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa yang telah disetujui oleh DPR RI.
Pernyataan sikap FITRA tersebut disampaikan oleh beberapa narasumber yang juga merupakan pimpinan FITRA, antara lain Sunaji Zamroni, Yusuf Murtiono, dan Badiul Hadi.
FITRA menyebutkan bahwa Badan Legislasi (Baleg) DPR RI yang menyetujui rancangan revisi Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2014 tentang Desa (UU Desa) layak untuk dikritisi. Kesepakatan Baleg DPR RI ini mengindikasikan pesan politik bahwa revisi UU Desa merupakan inisiatif DPR RI. Respons cepat dari Baleg DPR RI terhadap isu revisi UU Desa menjelang tahun politik 2024 sangat dipengaruhi oleh nuansa politis.
"Desa memang perlu dilindungi oleh DPR RI agar terhindar dari birokrasi yang menghambat pelaksanaan UU Desa. Konstitusionalitas gagasan revisi UU Desa oleh DPR RI memang penting, namun politisasi dalam proses revisi UU Desa berpotensi menghasilkan perubahan UU Desa yang tidak mengutamakan kepentingan desa. Situasi politik dan potensi politisasi dalam revisi UU Desa ini harus menjadi perhatian semua pihak, terutama para pihak di desa, terutama kepala desa," demikian kutipan dari siaran pers FITRA.
Maka dari itu, FITRA menyerukan:
1. Dahulukan evaluasi total kinerja Pemerintah dalam melaksanakan mandat UU Desa, sebelum mengusulkan revisi UU Desa. UU Desa sebenarnya telah mengakui dan menghormati kewenangan desa berdasarkan hak asal usul dan lokal berskala desa.
FITRA melihat pelaksanaan mandat UU Desa selama ini berpijak pada 2 Peraturan Pemerintah (PP No 43/2024, PP No 60/2014) dan banyak Peraturan Menteri (Permendesa, Permendagri, Permenkeu). Regulasi teknis ini yang justru bermasalah, menafsir berlebihan pada mandat UU Desa, sehingga kewenangan desa teramputasi. Alih-alih desa menjadi berdaulat, saat ini pun kemiskinan desa masih meninggi (BPS, 2022), dari 12,29 % (Maret 2022) menjadi 12,36 % (September 2022). Bahkan kemiskinan ekstrem pun masih banyak di desa-desa.
2. Menggugat basis argumentasi materi-materi muatan pokok yang diajukan untuk revisi UU Desa. Argumentasi penguatan kepemimpinan kepala desa melalui penambahan masa jabatan kepala desa (dari 6 tahun menjadi 9 tahun), tidak berdasar pada pengetahuan yang jelas.
Alih-alih kepemimpinannya yang lama bisa memajukan desa, justru sebaliknya desa bisa beresiko dipimpin secara otoriter, melahirkan dinasti kekuasaan dan memunculkan kekuatan oligarki desa. Gagasan memperpanjang masa jabatan kepala desa akhirnya malah memperlambat siklus demokrasi pemilihan desa. Pun demokrasi deliberatif desa tidak pasti jaminannya terbangun dengan kepemimpinan kepala desa yang diperpanjang.
3. Memperkuat hak desa atas keuangan desa yang bersumber dari trasfer dana APBN dalam bentuk Dana Desa (DD) dan alokasi APBD dalam bentuk Alokasi Dana Desa (ADD).
Menurut FITRA, bukan besaran DD dan ADD yang harus ditambah, tetapi kembalikan hak desa atas penggunaan DD dan ADD untuk membiayai kewenangan desa. Gagasan memperbesar ADD (minimal 15 % dari DAU+DBH setelah dikurangi DAK) malah semakin mempersempit ruang fiskal APBD Kabupaten/Kota yang selama ini sudah sempit.
Niat mempertebal penghasilan tetap perangkat desa (Siltap), secara bersamaan justru mempersempit diskresi keuangan Pemda Kabupaten/Kota. Saat ini yang diprioritaskan justru penguatan kapasitas perangkat desa, karena masih banyak SDM perangkat desa yang tidak memiliki kapasitas standar dalam pengelolaan keuangan desa, mulai dari; perencanaan, penganggaran, penatausahaan, pelaksanaan, pertanggungjawaban, dan pelaporan.
Bahkan masih banyak praktik pengelolaan keuangan desa yang lemah dalam penerapan prinsip transparansi, akuntabilitas dan partisipasi, sehingga berdampak pada banyaknya penyelewengan dana desa bahkan tindak pidana korupsi.
4. Menghentikan reduksi mandat UU Desa dalam penggunaan Dana Desa (DD) dan mempermudah aplikasi sistem keuangan desa (Sikeudes).
Penting penggelolaan keuangan desa tidak diatur secara njelimet dan detail, sehingga desa bisa leluasa mengoptimalisasikan usulan masyarakat yang harus dibiayai oleh DD. Pada sisi lain, saat ini banyak sekali urusan yang diserahkan/ditugaskan ke desa, tanpa disertai pendanaan, sehingga desa tidak leluasa mengurus kepentingan masyarakat setempat
Social Footer