Pakaian Adat Desa Liya Togo di Pulau Wangi-wangi Waktobi Sulawesi Tenggara / Foto: kompas Travel |
Desa Liya Togo, yang terletak di Pulau Wangi-wangi, Wakatobi, merupakan salah satu desa wisata yang dapat dikunjungi untuk belajar budaya.
Desa ini pernah meraih juara 2 dalam kategori Toilet Terbaik pada Anugerah Desa Wisata Indonesia (ADWI) 2021, yang diselenggarakan oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf). Desa Liya Togo menjadi satu-satunya perwakilan Sulawesi Tenggara di 50 besar.
Menurut informasi dari situs resminya, Desa Liya Togo terletak di pesisir selatan Pulau Wangi-wangi, dengan jarak sekitar 15 kilometer dari Pusat Kota Wanci dan 8 kilometer dari Bandara Matahora. Akses ke desa ini dapat mudah dilakukan menggunakan kendaraan bermotor.
Desa Liya Togo memiliki benteng yang luasnya mencapai 52 hektar, menjadikannya sebagai benteng terbesar di Wakatobi. Benteng ini juga dikenal dengan sebutan Benteng Liya atau Benteng Keraton.
Sebelum memulai perjalanan mengelilingi desa, setiap pengunjung diminta untuk menggunakan sarung. Sarung dengan pola motif yang berbeda disediakan untuk perempuan dan laki-laki.
"Setiap orang yang mengunjungi Benteng Liya selalu mengenakan sarung sebagai bentuk penghormatan terhadap kegiatan adat," kata Mursida.
Ketika memasuki area benteng, pengunjung akan diperkenalkan dengan beberapa spot menarik. Di dekat area parkir, terdapat beruga atau rumah panggung yang digunakan untuk musyawarah adat Liya. Di seberang rumah panggung tersebut terdapat Masjid Mubarok yang dibangun sejak tahun 1546. Meskipun telah mengalami beberapa kali perbaikan, masjid ini masih mempertahankan keaslian arsitektur aslinya. Dulu, masjid ini bahkan beratapkan rumbia dan papan. Baik masjid maupun benteng merupakan peninggalan dari Kerajaan Buton.
Pemakaman Warga
Di area yang sama, terdapat juga pemakaman yang terletak di belakang dinding benteng. Pemilihan lokasi pemakaman di sana didasarkan pada ketersediaan lahan yang cukup luas di daerah tersebut. Perlu diketahui bahwa Liya Togo memiliki tanah yang cenderung berbatu.
"Di mana pun, kita biasanya mengatakan tanah berbatu, tapi di sini kita katakan batu bertanah. Pemilihan lokasi pemakaman di sini didasarkan pada pertimbangan bahwa ada tanah di tengah batu bertanah ini," ujar Mursida.
Lapangan yang berada di depan pemakaman dan masjid sering digunakan untuk posepaa atau atraksi menendang. Di Wakatobi, posepaa hanya dilakukan di Liya.
Posepaa dilakukan untuk menguji ketangkasan para pemuda dalam mempertahankan tanah air jika terjadi serangan dari musuh.
Menikmati Aktivitas Harian Warga Desa
Para pencinta wisata kuliner juga berkesempatan mencicipi beberapa hidangan khas setempat. Salah satunya adalah salamu, makanan yang terbuat dari ikan pari suir yang dimasak dengan bumbu buah belimbing dan kelapa goreng, seperti yang dikutip dari situs Jaringan Desa Wisata Kemenparekraf. Salamu biasanya disajikan bersama dengan soami atau kasoami, yang merupakan olahan ubi kayu.
Satu porsi kasoami dijual seharga Rp 5.000 dan bisa dinikmati bersama dengan beberapa orang karena ukurannya yang cukup besar dan mengenyangkan.
Selain itu, terdapat juga perangi, hidangan laut yang diolah dengan cara dicincang halus dan diberi perasan jeruk nipis, bawang merah, cabai, dan sedikit garam, seperti yang disebutkan di situs Liya Togo. Selain menjelajahi kuliner, aktivitas lain yang bisa dilakukan oleh pengunjung adalah melihat proses menenun kain oleh warga setempat. Beberapa warga terlihat menggunakan alat tenun di halaman rumah mereka.
Mursida menjelaskan bahwa sebagian besar ibu-ibu di desa memiliki pekerjaan lain, sehingga menenun kain biasanya dilakukan saat mereka memiliki waktu luang. Menurut situs Jadesta, kain tenun yang dihasilkan di Liya Togo dikenal dengan sebutan kain tenun Homoru atau Wuray Homoru. Kegiatan menenun ini dilakukan oleh masyarakat desa saat mereka tidak sibuk bertani atau mencari ikan di laut. Kain ini juga sering disebut sebagai Wuray Ledha.
Menikmati Sensasi Gigitan Ikan, Dijamin Langsung Segar
Sebagai pemberhentian terakhir sebelum melanjutkan perjalanan ke tempat lain, kami mengunjungi Uwe Kohondao, salah satu mata air di Liya Togo. Sebelum adanya Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM), masyarakat setempat mengandalkan mata air sebagai sumber air. Saat ini, mata air tersebut berfungsi sebagai sumber air cadangan. Desa Liya Togo dikelilingi oleh lebih dari 10 mata air, sehingga mereka jarang mengalami kekeringan meskipun dalam musim kemarau. Mursida menjelaskan bahwa walaupun jaraknya cukup jauh, air selalu tersedia dengan cukup berkat berlimpahnya mata air tersebut.
Perjalanan dari daerah pemukiman menuju mata air membutuhkan waktu sekitar setengah jam jika ditempuh dengan berjalan santai. Untuk mencapai area mata air, kami harus menuruni lebih dari 200 anak tangga. Namun, tidak perlu khawatir, tangga tersebut terbuat dari batu dan tidak terlalu curam, serta lebarnya cukup luas.
Selain sebagai sumber air, area Uwe Kohondao juga dimanfaatkan untuk terapi air. Terdapat ikan-ikan kecil yang akan mendekati kaki kita dan memakan sel-sel kulit mati saat kita merendam kaki dalam air. Terapi ikan ini bisa dicoba tanpa biaya tambahan.
Sambil menikmati terapi ikan, kita dapat menikmati suasana yang tenang, mendengarkan suara alam, dan merasakan hembusan angin sejuk yang menyentuh kulit.
Selain beberapa aktivitas yang telah disebutkan, terdapat juga berbagai kegiatan wisata lain yang dapat dinikmati di Desa Liya Togo. Beberapa di antaranya termasuk snorkeling dan merasakan menjadi bagian dari warga setempat dengan menginap di homestay.
Social Footer